Tari kidang secara umum adalah kesenian rakyat yang menggambarkan suasana perburuan. Dalam tarian tersebut pemburu menggunakan jamparing dan gondewah (busur dan anak panah).
Tari kidang memberi sindiran kepada seorang tokoh yang bergelar: Kidang Pananjung, Kidang Kancana, dan Kidang Soka (Sokawayana). Pemburu yang menggunakan jamparing dan gondewah (busur-anak panah) merujuk kepada seorang tokoh yaitu: Ki Ageng Pamanah Rasa, nuansa ini diabadikan oleh seorang para leluhur di dalam tarian ini tidak lain untuk mengingat tokoh Kidang Kancana yang sangat halus budinya, santun perilakunya, tegas dan tajam dalam memberi keputusan dan pernyataan (twah), yang kemudian dijadikan contoh didalam kehidupan bermasyarakat.
Kidang secara silib dan siloka bermakna Kida Hyang, Kudi Hyang yang merupakan silib dari pusaka kujang.
Ritual Pernikahan, Khitanan, 7 bulanan, Seren Taun, panen dan berbagai bentuk kesenian dan ritual yang tersebut diatas, adalah merupakan artefak budaya yang tertulis di alam secara abadi dan secara turun-temurun diwariskan oleh para leluhur, dimana hal ini harus dibaca dan dikaji oleh generasi penerus sebagai sebuah bentuk kajian ilmiah.
Sangatlah mustahil para leluhur membuat dan melakukan berbagai upacara ritual ini hanya sebagai kegiatan humaniora atau aktivitas kesenian biasa. Karena sistem kebudayaan Sunda Besar seperti yang tersebut di atas merupakan bentuk ajaran atau Adab Sunda yang disesuaikan dengan kondisi jaman atau nilai-nilai yang berlaku saat itu, dimana ritual-ritual adat mengandung arti dan makna secara etika (atikan) dan estetika (anggitan).
Seperti ritual keselamatan yang biasa disimbolkan dengan sangu tumpeng. Kata “sangu Tumpeng“ berasal dari kata “Taruma Para Hyang”, yang bermakna puncak keagungan ajaran Sunda Besar atau Sundayana.