Kamis, 16 September 2010

Kujang Saksi Bisu Kebesaran Sejarah (2)

 Kujang aing Kujang Pajajaran - Nanjeb Lempeng dina Bebeneran 
Jembar dina Bebeneran - Luhung Elmuna - Weruh Sadurung Winarah 
Moal Cengkat tina Kuda-Kuda
 
(oleh Aries Kurniawan)
Perjalanan sejarah Nagara Purba melahirkan sebuah peradaban, hal ini adalah indikasi yang nyata bahwa totalitas dalam kebudayaan Sunda Purba atau Sunda Besar melahirkan beragam warna, baik yang bersifat material dan inmaterial atau ajaran  Keragaman hasil kebudayaan ini seringkali disalah tafsirkan, sebagai bentuk pemisahan dan pengotakan. Fenomena ini terjadi dikarenakan hanya artefak fisik yang dijadikan standarisasi bukti sebuah pengamatan dan penelitian. Seperti contoh : pusaka atau senjata Kujang, dianggap sebagai senjata etnis Sunda yang berasal dari provinsi Jawa Barat . Pada kenyataannya Kujang terdapat di hampir seluruh P. Jawa. Bentuk analisa yang berlandaskan aspek material, seringkali tidak akurat. Disisi yang lain, bentuk kebudayaan yang berkembang di wilayah Sunda Besar adalah Kebudayaan Nilai atau Non Material. Hal ini tidak pernah dianalisa dan dikaji secara mendalam.  Seluruh aspek kebudayaan harus mengacu pada disiplin ilmu Barat asing asing. Untuk kesejarahan Indonesia ilmuwan sejarah yang berasal dari Belanda pada masa Masa Pemerintahan Kolonial ( VOC dan Hindia Belanda ) , seringkali dijadikan rujukan yang utama.
Ketika Soekarno – Hatta mencanangkan Panca Sila sebagai Dasar NKRI, hampir seluruh rakyat sepakat. Hal ini sebuah bukti bahwa Bangsa Indonesia disatukan dalam ikatan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya, meski secara fisik memiliki bentuk kebudayaan yang beragam. Butir- butir nilai yang ada dalam Pancasila bukan hal yang ” baru ” untuk Bangsa Indonesia. Dilihat dari struktur bentuk negara purba bahwa Bangsa Sunda Besar menganut sistem Nagara Kartagama, yaitu nagara yang berladaskan nilai- nilai ke – Tuhan –an, dan Hukum nagara disebut Hukum Darigama, dimana hukum diambil dari nilai-nilai luhur agama sebagai landasan keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pemimpinnya yaitu, Rama – Resi – Ratu bergelar Panata Gama, yang bertugas mengatur kehidupan beragama dalam negara. Begitu pula struktur dasar misi negara purba, yaitu : Panca Kucika, Panca Pandawa Ngemban Bhumi,Panca Niti sebagai embrio lahirnya Panca Sila. Data–data yang berhubungan dengan sejarah tradisional bukan merupakan kesimpulan, tetapi merupakan data yang harus diolah kembali atau dikenal dengan peri bahasa Sunda ” di beuweung di utahkeun”.
Bukti fisik atau wujud, bahwa Nagara Purba menganut sistem Nagara Kartagama, yaitu kebijakan nagara lebih mengedepankan kemegahan tempat-tempat peribadatan, seperti candi-candi dari pada Karatuan atau pusat pemerintahan nagara.  Tak kenal maka tak sayang, seringkali kita dengar sebagai bentuk sindiran atau sebagai panggeuing – geuing dan pangeling- ngeling terhadap masyarakat dalam mengenali fenomena kebudayaan bangsa. Pakarang dan Pusaka merupakan dua buah kata yang mungkin akrab dan dikenal oleh masyarakat Sunda secara umum. Namun pada kenyataannya seringkali hal ini menjadi salah arti dalam pemaknaannya. Pada awalnya kata pusaka merupakan sebuah bentuk ajaran moral yang dijunjung tinggi oleh para pemimpin atau para raja, dan kemudian diaplikasikan kedalam sistem ka – Nagara – an dalam bentuk budaya dan perilaku. 
Ajaran yang bersifat abstrak kemudian dipersonifikasikan ke dalam bentuk Pakarang dan Pusaka berupa sebilah senjata tajam. Fenomena di dalam masyarakat dewasa ini seringkali terjadi salah pemaknaan , seringkali Pusaka dan Pakarang berkonotasi yang negatif, seperti ; perdukunan yang bernuansa klenik. Hal ini mengakibatkan makin menjauhnya ajaran jati diri dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ajaran yang disimpan dan dipersonifikasikan atau disilibkeun dalam bentuk Pakarang dan Pusaka, tidak dapat lagi dibaca dan diaplikasikan kedalam kehidupan masyarakat sehari – hari. Celakanya makin banyak masyarakat yang menjauhi dengan alasan takut, bahkan lebih celaka lagi dijadikan komoditi yang diperjualbelikan ke luar negri. 
Untuk itu diperlukan upaya pro aktif dalam memahami ajaran warisan para leluhur atau Sang Rumuhun Bangsa, yang disimpan dalam pakarang dan pusaka khususnya kujang. Rentang panjang sejarah ka – Nagara- an menjadi bukti adi luhungnya sejarah bangsa Sunda Besar. Sunda dalam konotasi bukan sebagai nama sebuah ” Etnik ”, yaitu penduduk yang mendiami Jawa bagian Barat, akan tetapi sebagai simbol kebesaran ajaran Sunda Besar, atau de Groote Sunda Landen / the Greater Sunda Island . Seringkali pemetaan wilayah administratif seperti Provinsi , Kabupaten dan lain – lain, dianggap sebagai tolak ukur wilayah kebudayaan, padahal sejarah mencatat bahwa provinsi merupakan warisan kolonialisme dan imperialisme , yang berasal dari ”Regentschaappen” dan wilayah perkebunan. Kemudian hal ini di pahami dan dijadikan tolak ukur wilayah budaya, pemahaman ini menjadi sulit dirubah pada masa sekarang. 
Secara logika mengapa orang yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut ”orang Jawa” atau ”etnik Jawa”, tetapi orang yang berasal dari Provinsi Jawa Barat dan Banten , menjadi ” orang ”Sunda dan orang Banten”, padahal kita mendiami pulau yang sama. Apabila kita merujuk kepada satu kata ”Ujang” dan ”Jang” berasal dari kata Urang Jawa Hyang – ”Jawa Hyang” dan ”Kujang” berasal dari kata Ku Jawa Hyang. Fenomena ini merupakan bukti ”keberhasilan"  dari politik adu domba negara penjajah, yang sampai saat ini masih dirasakan. 
Kita harus menghormati globalisasi sebagai bentuk semangat jaman, akan tetapi haruskah kita kehilangan ”Jati Diri Bangsa”? Apabila kita memaknai sebuah legenda dari Tatar Sunda yang berjudul Lutung Kasarung, dimana ketika menikahi Purba Sari, tiba- tiba menjelma menjadi seorang pangeran yang tampan, secara singkat artinya : seseorang yang belum menemukan dan menjalankan Inti Ajaran Purba atau Purba Sari maka derajatnya sama dengan Lutung Kasarung yang artinya monyet yang tersesat.

Kujang Saksi Bisu Kebesaran Sejarah (1)

(oleh Aries Kurniawan)

Dewasa ini masyarakat secara umum mengetahui bentuk perupaan atau waruga kujang sebagai simbol atau lambang pemerintahan provinsi Jawa Barat, nama divisi angkatan bersenjata , perguruan silat, sanggar kesenian Sunda dan merek dagang produsen pupuk dan semen. Sangat sedikit masyarakat yang memahami bagaimana sejarah kujang yang sebenarnya. Hal ini diakibatkan sangat sedikitnya sumber kepustakaan atau literatur yang tersedia untuk dijadikan rujukan. 
Kujang merupakan pusaka yang merefleksikan ajaran Sunda Besar, yang dimulai misi Salaka Domas atau Sunda Wiwitan, dengan paradigma kebangsaan Mula Sarwa Stiwa Danikaya pada tahun 78 M. Kujang menjadi pusaka atau gagaman sebagai wujud dari terbentuknya sistem ketatanegaraan purba, yaitu dimulainya pemerintahan nagara di Jawa Dwipa.
Kujang berasal dari kata Ku Jawa Hyang atau Ku Dyah Hyang dan kemudian menjadi Kudi Hyang, yang menyiratkan Jawa Dwipa berperan sebagai Ibu Pertiwi dan pulau- pulau lainnya di luar P. Jawa sebagai Nusa Persada. Secara totalitas wilayah teritorial nagara purba menyiratkan bahwa Nusa Persada ada di pangkuan Ibu Pertiwi atau disebut dengan istilah ”Papat kalima pancer”, yaitu: Jawa Dwipa, Swarna Dwipa , Simhala Dwipa, Waruna Dwipa dan Parahyangan sebagai Pancer atau Kamaharaja’an. 
Nusa Persada dalam sistematika nagara purba berkarakteristik Kadatuan (Kadaton) atau Ka-Resi-an, dan para pemimpinnya bergelar Datuk atau Resi, sementara Jawa Dwipa menjadi Pancer atau Puser, disebut juga Ka-Ratu-an (Karaton) dan para pemimpinnya bergelar Ratu. Para Resi atau Datuk mempunyai kekuatan hukum dan keilmuan dalam nagara. Resi mempunyai tugas sebagai penasehat Ratu dalam menjalankan roda pemerintahan nagara. Sementara Ratu berfungsi sebagai pelaksana program atau instruksi dari para Datuk atau Resi. Ratu mempunyai kekuasaan teritorial atau wilayah. Pada awalnya Pusaka kujang menjadi lambang kekuasaan para Ratu, dan keris menjadi pusaka atau gagaman para resi atau Ku Resi. 
Seiring dengan perkembangan sistem ketatanagaraan purba dan semangat perkembangan jaman ( Upgrading Spiral ), pusaka Kudi dan Kujang mengalami banyak perkembangan, baik dari segi bahan baku atau material dasar, teknis pengolahan atau garap, variasi bentuk dapuran, ukuran dan fungsinya. Pusaka kudi dan kujang secara keseluruhan merefleksikan ajaran Sunda Besar sebagai wujud dari nagara, ajaran, ratu dan karajaan. 
Kujang merupakan sebuah gagaman atau pusaka, dimana bentuk awal visual atau waruganya dianggap mengambil bentuk dari binatang bersayap atau burung (unggas).  Hal ini merupakan wujud dari dimulainnya sistem ketatanegaraan di wilayah Sunda Besar atau Nusa Kendeng (Dwipantara), yang sebelumnya merupakan negara yang berkarakteristik agama atau Kadatuan (Karesian). Perlambangan Kujang, menyiratkan perjalanan sistem nagara purba dan para tokoh pelaku sejarah yang dianggap mempunyai jasa besar kepada nagara. Hal ini diabadikan atau disilibkeun pada nama dapuran kujang jumlah mata atau lubang yang terdapat pada struktur bentuk atau Waruganya. Sebagai pusaka yang melambangkan etika, estetika dan falsafah, kujang dipakai sebagai lambang pemerintahan provinsi Jawa Barat ; dan berbagai organisasi lainnya. Hal ini menyiratkan harapan bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat diimplementasikan dengan baik.
Petuah Sunda Besar, bahwa dalam kehidupan ”Tekad, Ucap, Lampah kudu saluyu”, hal ini tercermin dalam bahan dasar kujang, yang terdiri dari : Waja, Wesi dan Pamor. Waja melambangkan kekerasan sebuah tekad, Wesi melambangkan bener dan jujur dalam laku-lampah, dan Pamor sebagai keindahan ucap dan santun dalam bertutur kata. 
Kesederhanaan bentuk kujang merupakan hasil integrasi dari nilai-nilai luhur, tafsir dan makna di dalam : Agama Budaya, Negara, Sejarah, Filsafat dan Hakekat (Simplification is the Crown of Beauty). Refleksi dari karakteristik budaya Sunda Besar, yang ”Depe-depe Handap asor”, ” Teu sudi ngajajah , Teu Sudi Dijajah ”, “Teu Sirik Pidik Jail Kaniayaya“, tercermin dalam perjalanan nagara purba dimulai dari Salaka Nagara-Taruma Nagara- Cupunagara – Banjar Nagara - Pajajaran Nagara.

Selasa, 14 September 2010

Prasasti Jayabupati ( oleh Aries Kurniawan dan Wikipidea, Kerajaan Sunda Galuh)

Perjalanan sejarah Nagara Purba melahirkan sebuah peradaban, hal ini adalah indikasi yang nyata , bahwa totalitas dalam kebudayaan Sunda Purba atau Sunda Besar melahirkan beragam warna, baik yang bersifat material dan inmaterial atau ajaran . Keragaman hasil kebudayaan ini seringkali disalah tafsirkan, sebagai bentuk... pemisahan dan pengotakan. Fenomena ini terjadi dikarenakan hanya artefak fisik yang dijadikan standarisasi bukti sebuah pengamatan dan penelitian. Seperti contoh : pusaka atau senjata Kujang, dianggap sebagai senjata etnis Sunda yang berasal dari provinsi Jawa Barat , yang pada kenyataannya terdapat di hampir seluruh Pulau Jawa.
Bentuk analisa yang berlandaskan aspek material, seringkali tidak akurat. Disisi yang lain, bentuk kebudayaan yang berkembang di wilayah Sunda Besar adalah Kebudayaan Nilai atau Non Material . Hal ini tidak pernah dianalisa dan dikaji secara mendalam .Seluruh aspek kebudayaan harus mengacu pada disiplin ilmu Barat dan asing. Untuk kesejarahan Indonesia ilmuwan sejarah yang berasal dari Belanda atau Masa Pemerintahan Kolonial , seringkali dijadikan rujukan yang utama.
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi. Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 :
//O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha. ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-
D 96 :
gaway tepek i purwa sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah. Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti pagepageh. mangmang sapatha.
D 97 :
sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi prasasti, adalah sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, I wruhhanta kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Selengkapnya untuk Kerajaan Sunda Galuh bisa di buka lewat ini :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sunda_Galuh

Minggu, 12 September 2010

Tari Kidang (oleh Aries Kurniawan)

Tari kidang secara umum adalah kesenian rakyat yang menggambarkan suasana perburuan. Dalam tarian tersebut pemburu menggunakan jamparing dan gondewah (busur dan anak panah).
Tari kidang memberi sindiran kepada seorang tokoh yang bergelar: Kidang Pananjung, Kidang Kancana, dan Kidang Soka (Sokawayana). Pemburu yang menggunakan jamparing dan gondewah (busur-anak panah) merujuk kepada seorang tokoh yaitu: Ki Ageng Pamanah Rasa, nuansa ini diabadikan oleh seorang para leluhur di dalam tarian ini tidak lain untuk mengingat tokoh Kidang Kancana yang sangat halus budinya, santun perilakunya, tegas dan tajam dalam memberi keputusan dan pernyataan (twah), yang kemudian dijadikan contoh didalam kehidupan bermasyarakat.

Kidang secara silib dan siloka bermakna Kida Hyang, Kudi Hyang yang merupakan silib dari pusaka kujang.
Ritual Pernikahan, Khitanan, 7 bulanan, Seren Taun, panen dan berbagai bentuk kesenian dan ritual yang tersebut diatas, adalah merupakan artefak budaya yang tertulis di alam secara abadi dan secara turun-temurun diwariskan oleh para leluhur, dimana hal ini harus dibaca dan dikaji oleh generasi penerus sebagai sebuah bentuk kajian ilmiah.

Sangatlah mustahil para leluhur membuat dan melakukan berbagai upacara ritual ini hanya sebagai kegiatan humaniora atau aktivitas kesenian biasa. Karena sistem kebudayaan Sunda Besar seperti yang tersebut di atas merupakan bentuk ajaran atau Adab Sunda yang disesuaikan dengan kondisi jaman atau nilai-nilai yang berlaku saat itu, dimana ritual-ritual adat mengandung arti dan makna secara etika (atikan) dan estetika (anggitan).

Seperti ritual keselamatan yang biasa disimbolkan dengan sangu tumpeng. Kata “sangu Tumpeng“ berasal dari kata “Taruma Para Hyang”, yang bermakna puncak keagungan ajaran Sunda Besar atau Sundayana.

Pusaka kujang pada awal penciptaannya berfungsi sebagi simbol atau lambang ajaran Sunda Besar dan kekuasaan wilayah atau teritorial

(Oleh Aries Kurniawan)

Istilah Sunda sebagai lambang wawasan kebangsaan dan ajaran yang adiluhung kini hanya menjadi nama sebuah etnis. Begitu pula dengan pusaka kujang sebagai yang pada awal penciptaannya berfungsi sebagi simbol atau lambang ajaran Sunda Besar dan kekuasaan wilayah atau teritorial , kini dianggap sebagai senjata khas provinsi Jawa Barat atau etnis Sunda.

Ketika pusaka dan pakarang kujang diciptakan, belum ada provinsi Jawa Barat dan etnis Sunda. Melalui penelusuran sejarah berkenaan dengan para atau pande atau Mpu pembuat Kujang dan hubungannya dengan jenis pusaka yang lain.

Pada dasarnya apabila di lihat dari sistem pemerintahan nagara purba, kujang tidak dapat dipisahkan dalam kerangka sistem Nagara Purba dan proses penciptaanya . 

 Hal ini bisa dilihat dari komponen rincikan atau elemen struktur pusaka dan senjata yang lain seperti keris.Banyak terdapat yang kesamaan , yaitu bahan dasar logam dan elemen rincikannya,seperti: pesi / peksi / paksi, pejetan dan lain-lain. Begitu pula dengan nama dapuran keris, seperti Bango Dolog, Kuntul Ngantuk, Merak dan lain-lain.Para Mpu pembuat Kujang seperti Mpu Ni Mbo Somro, Mpu Kuwung , Mpu Loning, Mpu Windu Sarpa dan lain–lain , yang berasal dari Jawa Kalwan atau Jawa Kulon - Sunda , menciptakan pula berbagai keris ketika hijrah ke Jawa Pawatan atau Jawa Pawetanan (Medang – Galuh) , atas perintah para wali nagara, yang berdasar pada sistematika Nagara Purba dan keilmuan. Ditemukan pula nama – nama lain yang menyiratkan kujang, seperti : Kajang, Kijing, Kidang, Kudang, Parung Kujang (asal kata dari Para Hyang Kujang) dan banyak lagi yang lainnya. 

Secara keseluruhan pusaka kujang merupakan lambang dari satu konsep ajaran Sunda Besar, dimana dalam proses penciptaannya merupakan hasil dari integrasi konsep : Agama,Budaya,Negara,Sejarah,Filsafat - Hakekat . Konsepsi ajaran tersebut diatas bersifat abstrak. Melalui kebajikan dan kebijakan para pendahulu bangsa ini mampu menterjemahkannya menjadi satu bentuk visual yaitu pusaka kujang. Penggayaan stilasi, abstraksi, dan deformasi bentuk pusaka kujang menyatu dengan ajaran kenegaraan dan ageman atau keyakinan.Kujang masih menyisakan misteri, karena dengan dasar meta logika akan mampu mengungkap meta historika kebudayaan Sunda Besar.

 

 

 

 

 

 

Kunjungan Kang Budi Dalton di Sekertariat Estetika Pusaka Indonesia (EPI), Bandung, di terima pencetus Aries Kurniawan.